Refleksi Dari Parmas Insight Chapter #1
Di tengah arus informasi yang bergerak secara cepat, para penyelenggara pemilu di Jawa Barat berkumpul dalam sebuah ruang virtual. Bukan untuk sekadar rapat rutin, tapi untuk merenungkan ulang bagaimana caranya menjaga nyala demokrasi tetap hangat di tangan rakyat.
Rabu, 8 Oktober, Parmas Insight Chapter #1 digelar secara daring. Sebuah forum yang tak hanya mengundang KPU Kota Kabupaten se-Jawa Barat, tapi juga memanggil nalar dan nurani untuk duduk bersama, membicarakan apa yang membuat pemilih datang ke TPS, Dan apa yang membuat mereka enggan datang.
Ahmad Nur Hidayat, Ketua KPU Jawa Barat, membuka forum dengan satu pengingat penting: teknologi berkembang, tetapi nilai tidak boleh tergantikan. “AI bisa meniru suara manusia, tapi tidak bisa meniru hati yang jujur,” katanya. Sebuah kalimat yang tidak hanya menyentuh, tapi juga menggugah: bahwa kecepatan informasi harus tunduk pada etika, bukan mendikte arah demokrasi.
Sementara itu, August Mellaz dari KPU RI, mengangkat dua pilar penting: menjadikan KPU sebagai rumah pengetahuan, dan ruang kolaborasi. Ia mengajak semua pihak untuk merefleksikan pengalaman Pemilu secara kritis, agar setiap pemilihan bukan hanya menghasilkan pemenang, tapi juga pembelajaran.
Forum ini juga mengundang narasumber dari KPU Kota Kabupaten. Wenti dari KPU Kota Bandung, Aprian dari KPU Kabupaten Bogor, dan La Media dari KPU Kota Cimahi turun berbagi langsung dari lapangan. Cerita-cerita mereka adalah potret mini dari realitas besar: tentang tantangan merangkul pemilih muda, tentang strategi memanfaatkan media sosial, dan tentang pentingnya menyapa warga dengan bahasa yang mereka mengerti.
Di akhir sesi, Hedi Ardia menegaskan satu hal: Parmas Insight bukan lagi sekadar forum. Ia adalah laboratorium gagasan. Tempat bertemunya pengalaman, strategi, dan semangat kolektif. Tempat di mana demokrasi tidak dibahas dari atas, tapi dibangun dari bawah.
Karena pada akhirnya, partisipasi bukan soal angka. Ia adalah soal rasa memiliki.