Opini

Memahami Cara Berfikir Pemilih : Refleksi Atas Kelelahan Demokrasi

oleh : Latief Muhtar ( Kepala Sub Bagian Parhubmas dan SDM KPU Kota Tasikmalaya ) Setiap pemilu tiba, kita sering kali mendengar seruan: “Jangan golput!” Namun ketika partisipasi tetap rendah, terkadang kita tergesa gesa mengambil kesimpulan : rakyat apatis, tidak peduli, atau tidak menarik buat rakyat. Padahal, mungkin bukan itu problemnya—bisa jadi kita keliru dalam cara memahaminya. Neurosains modern mengungkap sebuah kaidah yang menyebutkan: manusia tidak bertindak karena tahu, tapi karena merasa. Seperti yang dikemukakan oleh ahli saraf dari Kanada Donald Calne, emosi adalah instrumen pendorong utama atas sebuah tindakan, sementara pada bagian lain, ada namanya logika. Logika ini cenderung hadir tidak bersamaan dengan emosi, ia hadir di belakang—sebagai alasan, bukan pemicu. Artinya, menyampaikan informasi tentang tanggal, lokasi, dan tata cara mencoblos—tanpa menyentuh emosi—sama seperti mengirim undangan ke pesta yang dianggap tak penting bagi tamunya. Secara alamiah, Otak manusia didesain untuk bertahan hidup, bukan untuk memilih. Ia menghemat energi, menghindari risiko, dan mencari kepastian. Jika datang ke TPS dianggap merepotkan dan dalam benaknya ada anggapan nanti hasilnya meragukan, serta dampaknya tidak terasa, maka otak secara alami akan memilih jalan termudah, yaitu diam. Inilah akar golput yang sering tidak disadari: bukan sikap politik, namun respons neurologi terhadap sistem yang terasa jauh, rumit, dan tak bermakna. Yang kita perlukan kedepan, bukan sekedar kampanye anti-golput, tapi pendekatan pendidikan pemilih yang memahami cara kerja otak manusia. terkadang, kita penyelenggara pemilu sering kali terjebak dalam logika “transfer informasi”. Sosialisasi terfokus pada prosedur: jam berapa, di mana, bagaimana mencoblos. Padahal, mengetahui tidak sama dengan peduli.  Sebagaimana yang dijelaskan oleh ahli saraf Antonio Damasio, pengambilan keputusan selalu melibatkan emosi. Tanpa sinyal emosional, otak kesulitan memilih—meski logikanya telah memahami. Seseorang datang ke TPS bukan karena ia tahu aturan, tapi karena ia merasa bahwa pilihannya akan mengubah hidupnya dan generasinya kedepan, akan mengubah harga gabah, biaya Kesehatan yang terjangkau, atau kualitas udara di kotanya. Pesan seperti “Setiap keputusan di bilik suara adalah doa untuk masa depan anakmu” bukan sekadar pesan biasa—ia menyentuh bagian otak yang mengatur motivasi dan keberlangsungan sosial. Lebih jauh lagi, perilaku demokratis tidak lahir dari satu kali sosialisasi, tapi dari pengalaman berulang yang positif. Prinsip dasar dalam psikologi saraf menyatakan bahwa pengalaman yang diulang-ulang dan dikaitkan dengan perasaan positif akan membentuk suatu kebiasaan. Jika antrean di TPS panjang dan kacau, otak akan mengasosiasikan “memilih” dengan stres. Tapi jika pengalaman itu lancar, baik, dan dihargai, otak akan membentuk kebiasaan: mencoblos sama dengan tanggung jawab moral. oleh karenanya kedepan, penyelenggara perlu menguatkan Kembali kapasitas institusionalnya, terutama tidak hanya mengurusi sebatas demokrasi prosedural, akan tetapi kedepan saatnya penyelenggara bertransformasi menjadi arsitek perilaku demokratis. Ini mengandung makna mengembangkan kapasitas baru—literasi neuropolitik, kemampuan bercerita, empati sosial, dan kolaborasi dengan seniman, akademisi, dan komunitas lokal. Model sosialisasi harus bergerak dari “Apa yang harus kamu lakukan” ke “Mengapa ini penting bagimu”. Demokrasi yang sehat bukan hanya diukur dari angka partisipasi, namun dari seberapa besar partisipasi itu tertanam dalam kesadaran kolektif. rasanya tidak terlalu berlebihan jika memasang target untuk membuat warga merasa aneh jika tidak memilih—karena memilih bukan lagi tugas, tapi komunitas kewargaan. Demokrasi membutuhkan dua hal sekaligus: kejelasan prosedur dan kedalaman. penyelenggara menyediakan yang pertama; partai sebagai peserta menghidupkan yang kedua. Namun jika keduanya berjalan sendiri-sendiri, partisipasi akan tetap rapuh—naik saat ada euforia, turun saat kepercayaan surut. jika kita mau perumpamakan, kira kira metaforanya "penyelenggara menyediakan jalan yang mulus (the highway), sementara Partai Politik menyediakan alasan yang kuat (the destination) mengapa pemilih harus menggunakan jalan itu". Dengan begitu, pemilih akan secara sukarela berkorban mengeluarkan energi untuk mencoblos.      

Tingkat Partisipasi KPU Kota Tasikmalaya dalam Pilkada 2024

oleh : Leisa Dera (Ketua Divisi Sosdiklih Parmas dan SDM KPU Kota Tasikmalaya) Salah satu tolak ukur keberhasilan dari pilkada yaitu meningkatnya tingkat partisipasi masyarakat dalam pesta demokrasi. Undang–Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum mengamanatkan bahwa Pemilu diselenggarakan dengan partisipasi masyarakat. Berbicara partisipasi bukan hanya sekedar menjaga jumlah partisipan tetapi partisipasi juga berbicara soal kualitas. Salah satu bentuk partisipasi masyarakat adalah melalui sosialisasi pendidikan pemilih. Sosialisasi Pendidikan Pemilih merupakan syarat fundamental untuk melahirkan masyarakat/pemilih yang mempunyai kualitas demokrasi yang bagus, baik itu dengan adanya kesukarelaan/kesadaran pemilih, rasional, cerdas dalam memilih, mengetahui hak dan kewajiban, mandiri dan memiliki rasa tanggung jawab. Selain itu dengan adanya sosialisasi bisa mengurangi kecurangan ataupun konflik dalam berdemokrasi. Segala upaya sosialisasi dilakukan oleh KPU Kota Tasikmalaya agar partisipasi meningkat. Sosialisasi berjalan dengan lancar atas kolaborasi multi pihak dalam rangka peningkatan partisipasi masyarakat dalam pilkada di Kota Tasikmalaya.  Sebagaimana kita ketahui bersama dalam perhelatan pilkada tahun 2024 di Kota Tasikmalaya ada lima pasangan calon. Maka dengan itu kami melakukan sosialisasi secara masif agar seluruh masyarakat Kota Tasikmalaya bisa mengetahui calon-calonnya dan cerdas dalam memilih. Adapun materi yang kami berikan disesuaikan dengan kebutuhan seperti informasi pilkada, pentingnya demokrasi, peran masyarakat dalam peningkatan partisipasi, pemilih cerdas dan tema-tema lain yang dapat dikembangkan sepanjang bisa memperkuat pemilih dalam berdemokrasi.  Berikut beberapa program sosialisasi yang dilakukan KPU Kota Tasikmalaya: 1.Sosialisasi Roadshow Sosialisasi ini dilakukan pada 40 OKP/LSM/Organisasi-organisasi yang ada di Kota Tasikmalaya seperti PMII, HMI, KNPI, KAMMI, GMNI, Komunitas Ojol, Pegiat Seni, MUI, FKUB, dll.   2.SIDAK (Sosialisasi Pilkada Serentak) Sosialisasi ini dilakukan dengan cara person to person dan dor to dor dengan 10 titik sesuai dengan jumlah kecamatan. Seperti di daerah Kecamatan Tamansari kita melakukan SIDAK dengan mendatangi rumah-rumah di daerah yang jauh dari kota dan perbatasan dengan kabupaten yang akses medianya informasinya sangat minim. Selain itu kita melaksanakan SIDAK di CFD, pasar tradisional, tempat olahraga dan pada kelompok pegiat Payung geulis.  3.Sosialisasi Segmen-segmen Sosialisasi ini dilakukan dengan cara kita mengundang beberapa segmen untuk mengikuti sosialisasi di tempat yang telah kita tentukan, seperti kami mengundang pemilih pemula, kelompok perempuan. kelompok disabilitas, kelompok Marginal dll.  4.Sosialisasi Bekerjasama dengan Pemerintah Daerah Sosialisasi ini dilaksanakan pada kegiatan-kegiatan yang diadakan oleh pemerintah Kota Tasikmalaya seperti dalam kegiatan TOF (Tasik Oktober Festival) yang mana pada waktu itu KPU Kota Tasikmalaya diberikan kesempatan untuk sosialisasi di acara Karnaval SCTV, helaran budaya dan kegiatan serangkaian HUT Kota Tasikmalaya yang bertempat di Dadaha. Berdasarkan data pemilih tahun 2024 di Kota Tasikmalaya, tingkat partisipasi pemilih di Kota Tasikmalaya pada Pilkada 2024 mencapai 76,81%. Komposisi generasi menunjukkan bahwa pemilih didominasi oleh kalangan Milenial (33,27%) dan Generasi Z (25,49%), disusul oleh Generasi X (27,00%), Baby Boomer (12,99%), serta Pre Boomer (1,26%). Data ini menggambarkan bahwa mayoritas pemilih di Kota Tasikmalaya berasal dari generasi muda yang memiliki peran penting dalam menentukan arah demokrasi lokal. Selain itu, untuk tingkat Provinsi Jawa Barat, Kota Tasikmalaya menempati urutan kedua tertinggi dalam peningkatan partisipasi masyarakat pada Pilkada 2024, setelah Kabupaten Pangandaran. Hal ini menunjukkan adanya kesadaran politik dan partisipasi aktif masyarakat yang terus meningkat, terutama di kalangan pemilih muda.

Kekuatan Untuk Mewujudkan Pemilihan Partisipatif

Dr. H. Idam Holik ( Anggota KPU Prov Jawa Barat ) - Tahun 2020 adalah tahunnya penyelenggaran Pemilihan Serentak (Pasal 201 ayat 6 UU No. 10 Tahun 2016). Dalam analisa politik komparatif, tentunya dinamika politik dalam Pemilihan Serentak 2020 ini berbeda dengan yang sebelumnya, karena lanskap atau atmosfir politiknya berbeda. Hal ini dapat berimplikasi pada tantangan yang dihadapi dalam proses penyelenggaran pemilihan tersebut. Seberat atau sehebat apapun tantangan yang dihadapi oleh penyelenggara pemilihan, itu akan menjadi ringan, ketika penyelenggara pemilihan mendapat dukungan politik publik yang tinggi dalam bentuk kepercayaan publik (public trust). Kepercayaan publik tersebut bersifat sangat esensial sekali dalam kelancaran penyelengaraan semua tahapan Pemilihan. Selain hal tersebut, kepercayaan publik juga berimplikasi positif terhadap tingkat partisipasi elektoral pemilih terutama kehadiran pemilih dalam menggunakan hak suaranya –di tengah ancaman abstensi atau apatisme politik. Oleh karena itu, bersifat imperatif bagi setiap penyelenggara pemilihan termasuk badan ad hoc (PPK, PPS, KPPS, dan Petugas Pemutakhiran Data Pemilih sebagaimana diatur dalam Pasal 3 ayat 1 – 6 Peraturan KPU RI No. 3 tahun 2015), untuk menjaga dan meningkatkan kepercayaan publik. Dalam perspektif sistem, semua penyelenggara pemilihan tidak dapat dipisahkan satu sama lainnya atau bersifat terintegrasi. Menjaga reputasi organisasional menjadi kewajiban semua pihak penyelenggara pemilihan, tak terkecuali juga badan ad hoc. Ada dua hal yang sangat penting untuk dipahami dan diaktualisasikan dalam rangka meningkatkan dan menjaga reputasi organisasional penyelenggara pemilihan di mata publik, sehingga publik dapat mengapresiasi dengan kepercayaannya. Kedua hal tersebut adalah komitmen organisasional dan integritas kerja sebagai penyelenggara pemilihan. Kedua hal tersebut merupakan unsur penting bagi vitalitas organisasional dan akseptabilitas atau rekognisi publik. Vitalitas Organisasional Dalam sebuah organisasi, komitmen bersifat vital, karena dapat mempengaruhi kinerja seorang individu di dalam sebuah organisasi. Mowday et al (1979) mendefinisikan commitment has been defined as “the strength of an individual’s identification with and involvement in an organization”. Komitmen didefinisikan sebagai kekuatan identifikasi individu terhadap dan keterlibatannya di dalam organisasi. Komitmen organisasional dari seorang penyelenggara pemilihan (termasuk badan ad hoc) merupakan prasyarat utama bagi kemampuannya bertahan hidup (survive) di dalam organisasi dan menghidupkan atau mengembangkan organisasi itu sendiri. Selanjutnya Curtis & Wright (2001) menjelaskan bahwa konsep tersebut terdiri dari tiga komponen yaitu (1) hasrat untuk memelihara hubungan di dalam organisasi; (2) keyakinan terhadap dan penerimaan atas nilai dan tujuan orang.

PELAJARAN DARI BUMI

Kaitannya dengan tanah, manusia sebagai penghuni bumi, dalam pandangan Islam, sebagaimana banyak disebutkan dalam Al-Quran, diciptakan oleh Allah SWT dari tanah. Ada beberapa istilah yang digunakan dalam Al-Quran, yang tentunya masing-masing memilki makna tersendiri, yaitu thin: tanah (QS Al-An’am: 2, As-Sajdah: 7), thiin lazib: tanah liat yang melapuk (QS As-Shaffat:11), sulalatin min thin: saripati tanah (QS Al-Mu’minun:12), shalshalin min hama’in: tanah liat kering (QS Al-Hijr:14), shalshal kalfakhar: tanah kering seperti tembikar (QS Ar-Rahman:14). Menurut para ilmuwan, tanah memiliki unsur-unsur yang diperlukan bagi proses kehidupan. Tanah mengandung banyak atau ataom atau unsur metal (logam) maupun metalloid (seperti logam) yang sangat diperlukan sebagai katalis dalam proses reaksi kimia, maupun biokimia untuk membentuk molekul-molekul organik yang lebih komleks. Contoh unsur-unsur itu antara lain: Besi (Fe), Tembaga (Cu), Kobal (Co), Mangan (Mn), Seng (Zn), Mollibden (Mo), Foron (B), Klor (Cl) dan sebagainya.    Jadi, ketika Iblis menyatakan bahwa dirinya yang tercipta dari api adalah lebih baik dari Adam yang tercipta dari tanah, hal tersebut adalah kesombogan, sekaligus juga memperlihatkan kebodohan Iblis. Anggapan bahwa api lebih baik daripada tanah, adalah tidak tepat. Kandungan unsur terdapat dalam tanah justru lebih lengkap dibandingkan dengan api. Secara biologis dan unsur kimiawi, manusia memiliki kesesuaian dengan unsur-unsur bumi, sehingga manusia bisa hidup nyaman di muka bumi. Tanpa ada kesesuian itu, manusia tidak akan bisa bertahan hidup di bumi. Keselarasan itu harus dijaga, dengan cara senantiasa berbuat kebaikan dan menghindari berbuat kerusakan (al-fasad) di muka bumi. Kemafsadatan yang dilakukan manusia terhadap muka bumi, maka dampaknya akan dirasakan oleh manusia itu sendiri. Kita diciptakan Allah SWT dari unsur-unsur bumi, selayaknya juga kita bisa berperilaku selaras dengan sifat dan karakter bumi, di antaranya adalah: Pertama,ketundukan kepada Allah SWT. Bumi berotasi pada porosnya dan dan berevolusi mengelilingi matahari, tanpa henti, tanpa sedikit pun melenceng dari garis orbitnya, tanpa pula mengurangi atau menambah kecepatan putarannya. Sedikit saja bumi bergeser dari garis orbitnya, mempercepat atau memperlambat putarannya akan menimbulkan perubahan suhu dan perubahan kompisisi kimia, serta ketidakseimbangan yang ada di dalamnya, itu akan berakibat fatal bagi kehidupan manusia. Semua itu adalah bentuk totaitas kepatuhan dan ketundukan kepada Sang Maha Pencipta. Allah SWT menyebutkan dalam QS :  “Langit yang tujuh, bumi dan semua yang ada di dalamnya bertasbih kepada Allah. Dan tak ada suatupun melainkan bertasbih dengan memuji-Nya, tetapi kamu sekalian tidak mengerti tasbih mereka. Sesungguhnya Dia adalah Maha Penyantun lagi Maha Pengampun” (QS: Al-Isra: 44). Bumi yang begitu besar, luas, dan kokoh, memiliki kekayaan yang melimpah, ia begitu patuh, taat dan ikhlas melaksanakan segala perintah Allah SWT. Tapi mengapa manusia yang begitu kecil dan lemah, justru berani malakukan perbuatan durhaka dan membangkang terhadap Sang Maha Pencipta. Sepatutnya semua gerak baik fisik, hati dan pikiran haruslah semuanya “thawaf”, patuh dan tunduk pada kekuasaan-Nya. Tidak boleh ada sedikit sikap pembangkangan dan kesombongan di dalam diri. Firman-Nya: “Walaa tamsyi fil ardhi maraha”, Janganlah kalian berjalan di muka bumi dengan sombong (QS Al-Isra: 37). Sikap pembangkangan dan kesombongan (abaa wastakbara) bukanlah karekter bumi yang senantiasa bertasbih dengan tanpa henti, tapi itu adalah sikap dan karakter yang bersumber dari Iblis. Kedua, kelapangan. Bumi memiliki ukuran yang besar, terbesar keempat di tata surya. Saking besarnya ukuran bumi dibandingkan dengan ukuran tubuh manusia, bumi yang berbentuk bulat (ada juga yang berteori tentang flat earth) tampak seperti hamparan yang sangat luas tak terasa lengkungannya. Allah SWT berfirman dalam QS Al-Hijr: 19 “dan Kami telah hamparkan bumi dan menjadikan padanya gunung-gunung..” Selain itu banyak ayat yang menjelaskan tentang luasnya bumi yang kita huni ini, di antaranya adalah mahdan (QS Thaha: 53, Az-Zukruf:10), Mihaada (An-Naba:6), Firaasya (Al-Baqarah:22), suthihat: dihamparkan (Al-Ghasyiyah: 20),  Bisathan (QS Nuh: 19). Jika bumi memiliki ukuran yang sangat besar dan luas, sebenarnya manusia memiliki sesuatu yang bisa melebihi keluasan bumi, yaitu hati. Hati jika dihiasai dengan cinta, keikhlasan dan keridhaaan maka keluasannya bisa melebihi luasnya bumi, namun jika dipenuhi dengan kebencian, iri dan dengki, maka akan terasa sempit, menghimpit dan mencekik. Hati yang dihiasi cinta, akan mengalahkan keindahan taman apapun di muka bumi. Hati yang ikhlas akan lebih jernih dari air apapun yang paling jernih. Hati yang ridha, akan melebihi luasnya bumi. Ketiga, menumbuhkan kebaikan.  Dengan segala unsur yang terkandung di dalamnya di tambah air dan oksigen, atas kuasa-Nya, bumi menumbuhkan beragam tumbuhan-tumbuhan dan buah-buahan yang sangat bermanfaat bagi kehidupan manusia.  Firman Allah SWT dalam QS Al-Mukminun: 19: “Lalu dengan air itu, Kami tumbuhkan untuk kamu, kebun-kebun yang kamu peroleh buah-buahan yang banyak dan sebagian buah-buahan itu kamu makan”. Tanpa ada sesuatu yang ditumbuhkan oleh bumi, manusia tak akan memiliki sesuatu untuk di makan. Karena hewan pun makan sesuatu yang berasal bumi. Apa yang ditumbuhkan bumi, tak semata dimakan oleh-orang saleh semata, orang-orang yang berbuat durhaka dan berbuat kerusakan kepada bumi pun menikmatinya. Tak peduli bumi dihina, diinjak dan disakiti, bumi tetap membalasnya dengan kebaikan. Seolah prinsipnya adalah memberikan kebaikan dan kemanfaat bagi siapapun, tak peduli orang lain berbuat berbuat jahat kepadanya. Baginda Rasulullah SAW, ketika pergi ke Thaif untuk menyampaikan dakwahnya, alih-alih disambut dengan gembira, beliau malah diusir dan dilempari dengan batu oleh penduduk Thaif, sampai kaki beliau luka-luka dan berlumuran darah. Menyaksikan hal tersebut, datang malaikat Jibril dan malaikat penjaga gunung yang ada di sana menghapiri dan menawarkan kepada Nabi untuk membinasakan dan meretakan mereka dengan gunung. Nabi tidak mengiyakan, malah beliau mengatakan bahwa mereka adalah kaum yang belum memahami. Selanjutnya Nabi pun mengatakan, walaupun mereka telah menolak dakwah Nabi untuk masuk Islam, itu tak mengapa. Nabi berharap dengan kehendak kelak dari rahim mereka terlahir orang-orang yang menyembah dan dan taat kepada  Allah SWT. Nabi tidak marah, benci dan ataupun dendam, malah Nabi mendoakan kebaikan bagi mereka. Keempat, sabar dan kasih sayang. Lafad al-ardhu dalam bahasa Arab termasuk kategori yang berjenis perempuan (mu’anats). Hal tersebut dapat dilihat dalam penggunaan dhamir yang menunjukan kepada perempuan, seperti terlihat pada penggunaan ta ta’nits pada idzaa zulzilat (i)l-ardhu, wa idzal ardhu muddat, dan lain-lain. Dalam Bahasa Indonesia, kita mengenal istilah Ibu Pertiwi untuk menyebut tanah air atau negeri. Dalam lagu kebangsaan Indonesia Raya, terdapat lirik “di sanalah aku berdiri jadi pandu ibuku”. Tentu istilah ibu atau perempuan pada bumi bukanlah yang sesungguhnya, tapi itu adalah kiasan, (dalam bahasa Arab disebut mu’antas majazi). Namun demikian, tidak berarti itu tanpa makna. Ibu adalah sosok yang mulia. Untuk menggambarkan kemuliaan seorang ibu, Rasul menyebutkan bahwa surga dibawah telapak kaki ibu, beliau juga mengatakan bahwa orang yang paling wajib dihormati adalah ummuka, ibumu. Rasul menyebutnya sampai tiga kali, baru kemudian bapak. Ibu memiliki sifat kasih sayang kepada anaknya yang tak terhingga. Sejak mulai dari rahim sampai dewasa, sang ibu merawat anaknya dengan penuh kesabaran dan kasih sayang. Laksana seorang ibu, atas kuasa Allah SWT bumi memberikan semuanya untuk manusia. Baik kebutuhan sandang, pangan dan papan, serta apapun yang dibutuhkan manusia, semuanya tersedia pada bumi. Laksana seorang ibu pula, bumi pun memberikan kesejukan dan kenyamanan bagi manusia dan makhluk lainnya, walaupun manusia banyak justru  berbuat kerusakan terhadap bumi. Bumi dengan kesabarannya tetap menopang walau diinjak, memberi walau dimaki, diam walau disakiti.  Sifat sabar dan kasih sayang sejatinya juga dimiliki oleh manusia, sebagai makhluk yang paling sempurna diciptakan oleh Allah SWT.   Masih banyak pelajaran lain yang bisa kita ambil dan renungkan dari bumi dan alam raya ini. Semua itu adalah ayat kauniyah yang terhampar sebagai tanda-tanda kebesaran-Nya. Bertafakur tak sekedar merenung, tapi juga mencoba mendengar, memahami dan menghayati pesan-pesan-Nya yang dituliskan pada semesta alam. Wallahu a’lam.*) Ade ZM